Peran Antagonis Para Serdadu (Bagian II)

589
Chendry Mokoginta

Penulis: Chendry Mokoginta

TimurExpress.co, Boltim – Penulis kedua yang saya tenggarai menanggapi tulisan-tulisan saya sebelumya adalah Fiko Onga. Dia menulis  dengan judul Kebijakan Merumahkan THL Boltim dan Upaya Sterilisasi KKN, baca: https://kilas24.co/2021/04/kebijakan-merumahkan-thl-boltim-dan-upaya-sterilisasi-kkn/

Saya tak mengenal asal-muasal makhluk ini. Perkiraan saya dia bukan dari kalangan jurnalis BMR. Seseorang menginfokan, Fiko merupakan salah satu suksesor SSM-OPPO di Pilkada 2020 lalu.

Pembaca, dalam tulisannya, Fiko memang tak menyebutkan bahwa tulisan tersebut sebagai sanggahan atas tulisan saya terdahulu. Namun membaca alur bahkan isu yang dia dibahas, sulit bagi saya membantah ini merupakan respon atas Cerita Horor Honorer Boltim di tiga media cyber yang hingga Rabu 14 April 2021 telah dibaca hampir 10.000 kali.

Dalam tulisannya yang lebih mirip materi kuliah hukum semester 1, Fiko membuka kalimat pertamanya dengan gambaran umum soal Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) di Indonesia. Tulisan ini condong ke bahan klarifikasi tentang polemik pemberhentian 500 lebih THL Pemkab Boltim oleh Bupati Sam Sachrul Mamonto.

Pembaca, tak banyak poin tulisannya yang bisa saya ambil untuk direspon balik dalam tulisan saya ini. Dengan gaya penulisan formal, keamatiran dia sebagai penulis esai cukup terlihat; bertele-tele dan kosana-komari. Saya dibuat kesulitan mencari beras dalam sekam.

Saya maklum. Sebagai ‘serdadu’,  Fiko (juga lainnya) berusaha  mencari dalil pembenaran atas kebijakan Sam Sachrul Mamonto (SSM) dalam urusan pemberhentian ratusan THL Boltim. Begitu pun dengan upaya pemberhentian Perangkat Desa, serdadu-serdadu ini secara gamblang menganggap hal itu sebagai kewajaran-meski nyatanya berpotensi hukum terhadap pengambil kebijakan atau pemberi instruksi itu sendiri. Bagi mereka, tak penting siapa dan apa yang akan dihadapi, asalkan perintah ‘Panglima’, serdadu akan sigap bilang “siap,”. Entahlah.

Baca Juga:  6 Kontestan Pemenang BIG Award 2022 Terima Hadiah

“Berkaitan dengan kritik atas kebijakan yang dikeluarkan oleh Bupati Bolaang Mongondow Timur, Sam Sachrul Mamonto adalah bentuk langkah preventif untuk penanganan praktek Kolusi dan Nopotisme,” begitu argument Fiko dalam tulisan sebagaimana judul yang telah disebutkan tadi. “Atau saya lebih senang mengatakan bahwa ini adalah bentuk upaya sterilisasi praktek persekongkolan jahat rezim sebelumnya. Mengapa demikian? Polarisasi sebuah kebijakan harus berlandaskan pada aspek akuntabilitas atau melalui mekanisme yang transparan.” Sambungnya.

Pembaca, jika Serdadu Retho Bambuena-ternyata adik kandung sahabat saya Rensa Bambuena-menyebut pemberhentian para THL karena faktor ‘tak sevisi-misi Bupati/Wakil Bupati’, maka Serdadu satu ini (katanya lebih senang) menyebut kebijakan tadi sebagai upaya sterilisasi persekongkolan jahat rezim sebelumnya. Saya sendiri di beberapa tulisan enggan menggunakan kata ‘rezim’ dan lebih memilih kata ‘pemerintahan’ meski arti keduanya tak jauh beda. Rezim dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) diartikan sebagai tata pemerintahan negara atau pemerintahan yang berkuasa. Namun di leteratur lain-Wikipedia- disebutkan, penggunaan kata ‘rezim’ di era modern berkonotasi negatif, karena mengisyaratkan otoriter dan kediktatoran.

Fiko menarasikan kebijakan Bupati SSM sebagai ‘jalan penyelamatan’ institusi yang selama ini digerogoti praktik KKN. Atau dapat diandaikan bahwa kebijakan ini sebagai pembersih kotor bagi pemerintahan terdahulu.

Pembaca, bagi ‘orang dalam’ kebijakan apapun yang diambil Bupati SSM, pasti akan diposisikan positif. Kita pun tak boleh terjebak. Sebab, bukan tidak mungkin yang dikira keju ternyata sagu.

Fiko melanjutkan: “Perekrutan THL tidak seharusnya dilandaskan pada faktor kedekatan, faktor clan apalagi karena faktor transaksi politik. Tetapi proses perumusan kebijakan berupa penentuan THL/Honda harus berlandaskan pada aspek profesionalitas, transparan dan tidak mengabaikan prinsip kepakaran.

Secara teoritis saya sepakat dengan argumentasinya itu. Namun, apakah dia tahu situasi saat ini? Apakah dia tahu bahwa disaat terjadi pemberhentian 500 lebih THL, secara bersamaan terjadi perekrutan? Kepada Fiko saya bersedia menunjuk hidung satu per satu THL wajah baru di Pemkab Boltim yang saya maksud. Selanjutnya saya menanti penjelasan dia apakah keberadaan mereka sebagai THL baru karena faktor kedekatan, faktor clan, ataukah faktor transaksi politik pasca Pilkada sebagaimana dia sebutkan diatas.

Baca Juga:  Tapem Boltim: Segera Penuhi Kekosongan Perangkat Desa

Di akhir tulisannya, Fiko kembali mempertegas bahwa SSM-OPPO yang baru menjelang dua bulan pemerintahannya bertekad untuk memutus rantai nepotisme yang menurutnya terjadi di pemerintahan Sehan Landjar selama satu dekade. “Sebab SSM-Oskar baru 1 bulan efektif bekerja, sementara rezim sebelumnya 10 tahun membangun sebuah tatanan yang cenderung nepotisme. Maka hal ini tidak harus dilanjutkan! Justru harus diputuskan.”

Di tengah polemik ragam kebijakan dan instruksi non populis yang dilakoni pemerintahan saat ini, tuduhan terhadap pemerintahan Sehan Landjar yang (ditudingnya) sarat KKN, bagi saya hanyalah pengalihan isu saja. Saya kuatir, kondisi yang ada justru bak peribahasa moguman ki sade’ lopa-lopak daun bage’.

Saya bukanlah penyanjung  Sehan Landjar sebagaimana yang ditudingkan. Saya pun tak pernah memilih Sehan dalam dua kontestasi Pilkada Boltim. Namun bagi saya, problematika yang dihadapi rakyat Boltim saat ini, membuat banyak pihak pesimistis bahwa SSM-OPPO akan lebih baik dari yang sudah-sudah.

Akhirnya, kepada Serdadu Fiko saya sampaikan, dampingi Panglimamu belajar kepada Sehan Landjar. Jangan lupa sertakan balpoin dan notes, supaya yang diajarinya dapat kalian catat dan cerna dengan baik.

(BERSAMBUNG)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini