Peran Antagonis Para Serdadu (Bagian III)

453
Chendry Mokoginta

Penulis: Chendry Mokoginta

TimurExpress.co, Boltim – Langsung saja. Pembaca, ada dua lagi ‘serdadu’ tersisa yang tulisannya belum saya tanggapi. Kedua penulis yang merespon dua tulisan saya terdahulu adalah sahabat saya yang berprofesi sebagai jurnalis. Pertama adalah Budi Syahril Mamonto dengan judul Curhatan Pribadi yang Bertameng pada Horor Honorer: https://medionet.co.id/curhatan-pribadi-yang-bertameng-pada-horor-honorer/  dan Pasrah Hidayat Mamonto dengan judul Oposisi Cari Posisi yang ditayangkan bertahap: https://kilastotabuan.com/oposisi-cari-posisi-1/ dan https://kilastotabuan.com/sambungan-oposisi-cari-posisi/ .

Lebih dari sekali saya pernah disuguhkan kopi ketika bersua dengan dua sahabat itu. Baik di Desa Moyag (kediaman orang tua Budi) maupun di Kelurahan Biga (kediaman Istri Pasrah). Kepada keduanya dan keluarga saya sampaikan salam. Selamat menjalankan Ibadah Puasa Ramadhan 1442 Hijriah.

Tulisan ini sebagai tanggapan atas kedua tulisan mereka secara sekaligus. Sama seperti tulisan dua serdadu terdahulu, saya pun akan mengomentari balik poin-poin yang saya anggap penting. Namun sebelum itu, saya perlu mengapresiasi alur dan gaya penulisan duo serdadu ini. Membacanya seperti sedang menikmati synopsis sinetron Ikatan Cinta. Bikin baper.

Secara umum, maksud dari tulisan-tulisan para serdadu ini adalah, memberi sokongan kepada kebijakan Bupati Boltim Sam Sachrul Mamonto (SSM) atas pemberhentian 500 lebih THL. Bagi saya, itu sah-sah saja. Toh ‘posisi’ mereka kita tahu bersama.

Oke, lanjut.  Budi menulis: “Menurut hemat saya, tak ada yang salah dan keliru dengan kebijakan yang diambil oleh duet Sachrul – Oscar dengan di rumahkan ratusan tenaga honorer yang ada di Boltim. Saya, tidak menyudutkan para tenaga honorer. Tapi saya lebih berpihak pada kebijakan yang diambil oleh Bupati yang sudah sesuai regulasi”.

Dia berspekulasi bahwa kritik saya dalam tulisan Cerita Horor Honorer Boltim, sebagai curhatan pribadi. Bahkan, tebaknya, ada misi khusus dalam tulisan tersebut. “Saya bisa menebak, bahwa tulisan ini secara tidak langsung mengajak kepada para honorer untuk menabur mosi ketidakpercayaan kepada Bupati.”

Pembaca, saya bukanlah Perangkat Desa ataupun honorer (THL) di Kabupaten Boltim yang secara langsung terdampak dengan kebijakan ini. Saya hanyalah salah satu rakyat yang berhak menilai hingga mengkritik kebijakan pemerintah.

Baca Juga:  Bupati Boltim Keluarkan Instruksi Cegah Penyebaran Virus

Pembaca, coba disimpulkan sendiri, kebijakan merumahkan ratusan THL yang jelas-jelas berdampak buruk terhadap ekonomi mereka di tengah Pandemi Covid 19-di Bulan Suci Ramadhan pula-layakkah diapresiasi, dipuji dan sejenisnya? Ataukah anda (pembaca) akan ikut happy dengan rencana pemecatan Perangkat Desa yang mengesampingkan aturan main yang berlaku? Anda yang mungkin sedang tik-tokkan bisa saja bilang “tidak”.  Itulah hak anda, begitu pun saya.

Pembaca, saya beranjak pada tulisan Pasrah. Serdadu satu ini menuliskan, kebijakan Bupati SSM memberhentikan ratusan THL demi menjaga stabilitas keuangan daerah akibat dampak Pandemi Covid 19. Sebagai pemegang tampuk pemerintahan yang baru, SSM-OPPO butuh anggaran untuk merealisasikan visi-misinya sebagaimana dijanjikan semasa kampanye Pilkada lalu.

Perlu diketahui bahwa masa paling kritis keuangan daerah terjadi di akhir pemerintahan Sehan Landjar, 2020. Selain ‘launching’ Pandemi Covid 19, di masa itu juga digelar Pilkada yang tentu makin menguras keuangan. Namun, Sehan tak merumahkan THL sebanyak ini sebagai solusi menjaga stabilitas keuangan daerah. Makanya, saya katakan: Bupati Sachrul belajarlah ke Bupati Guhanga Sehan Landjar.

“Lebih parah mana, merumahkan ratusan THL untuk sementara, atau membiarkan masyarakat Boltim terpapar virus kemudian meninggal dunia, tanpa dilihat dan didoakan keluarga? Saya rasa senior lebih paham akan nilai kemanusian.” Tulis Pasrah. Dia menawarkan pilihan yang spontan membuat saya teringat dengan perkataan salah satu warga Desa Togid, Idham ‘Lasido’ Mokodompit: takut akan hantu, terpeluk akan mayat.

Saya tak perlu menjelaskan lagi di sini. Silahkan baca kembali tulisan Cerita Horor Honorer Boltim klik https://timurexpress.co/cerita-horor-honorer-boltim/. Di situ ada pertimbangan-pertimbangan yang bisa diambil Pemkab jika tak berniat  merubah THL menjadi pengangguran. Di tulisan itu, anda akan dapatkan gambaran bagaimana terhindar dari hantu sekaligus tidak terpeluk mayat.

Baca Juga:  SPNF SKB Tutuyan Mulai Laksanakan Ujian Susulan

Dalam tulisannya, Pasrah juga menyentil insiden SK pemecatan salah satu tenaga tutor PAUD di Desa Kotabunan Barat, Kecamatan Kotabunan, yang viral Maret lalu. Sebagai jurnalis-yang memang bertugas meliput- dia ceritakan bahwa terbitnya SK yang turut diteken oleh pihak mengatasnamakan Tim Pemenangan SSM-OPPO, adalah kekhilafan oknum sangadi semata. Untuk topik ini saya setuju.

Bahkan, ditulisan pertama saya (Surat Terbuka untuk Bupati Boltim), saya memposisikan Bupati SSM sebagai pihak yang tak berdosa dalam kasus tersebut. Soal adakah perintah terselip dibalik pemecatan yang sudah dianulir tersebut, pembaca silahkan simpulkan sendiri usai tuntas membaca tulisan ini.

Bahwa, rencana pemecatan Perangkat Desa secara massif di Kabupaten Boltim, awalnya saya duga hanyalah tunjung jago para sangadi (Kepala Desa). Namun setelah menyimak berita yang dimuat media cyber Pilar Aktual, pikiran positif saya tiba buyar. Saya memang terlambat membaca berita ini: https://pilaraktual.com/bupati-boltim-berang-ada-sangadi-yang-belum-mengganti-perangkat-desa/.

Dengan tidak mengarahkan, memaksa dan menekan, pembaca silahkan tebak, siapa motor di balik rencana pemecatan dan penggantian Perangkat Desa di Boltim? cukup, disimpan jawaban anda.

Membaca situasi ini, saya berpendapat bahwa sedang terjadi gaya oligarki pada pemerintahan yang sejatinya demokratis ini. Kebijakan-kebijakan non populis bahkan beresiko hukum, jauh dari harap kita. Saya sepakat dengan teman-teman serdadu, agar SSM-OPPO diberi kesempatan berkarya untuk daerah ini. Saya pun menanti, kapan waktunya memberi jempol atas kebijakan mereka.

Jika itu terjadi, pastilah tugas para serdadu dengan peran antagonisnya bisa lebih ringan. Di sini tak perlu dicari siapa sosok protagonisnya. Dan jangan berharap bahwa dia adalah Si Panglima. Sungguh dia masih jauh dari karakter tersebut. Belajarlah kepada Sehan Landjar! (SELESAI)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini